Kamis, 26 November 2009

Pemberdayaan Kelapa

Sebagai minyak kelapa yang dalam keadaan yang virgin atau masih asli, yang mampu mengobati HIV AIDS, ini ternyata kelapa memendam potensi yang luar biasa bagi bumi nusantara kita ini.



untuk Subsidi Energi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada Pulau Terluar Indonesia

Memang sebagai aktifis LSM ( NGO ) adalah ikut mengambil tanggung jawab dari peran pemerintah dalam hal ini pemberdayaan masyarakat petani - pedesaan dengan kelapanya, yang semenjak tahun 90-an kami telah bergelut memperjuangkan nasib mereka. Titik balik terjadi setelah era presiden Habibi dimana kelapa sudah tidak dimusuhi lagi oleh pemerintah, dan juga setelah seorang teman membawa kabar dari Amerika bahwa minyak kelapa disana dijual di apotek sebagai obat, maka mulailah kembalinya kejayaan minyak kelapa.


Namun ternyata masih belum cukup sukses, karena di daerah yang remote atau jauh mengalami kesulitan terutama kebutuhan energi seperti BBM ternyata belum tahu bagaimana memanfaatkan kekayaan alamnya yaitu kelapa yang begitu banyak tumbuh yang sampai jatuh sendiri tidak terpanen, karena saking banyaknya dan ketidak tahuan mereka.

Indonesia telah dikenal luas sebagai negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya adalah lautan dan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ± 80.791,42 Km. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), pada tahun 1992 menerbitkan Gazetteer Nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia, dan mencatat 6.489 pulau bernama, termasuk 374 nama pulau di sungai. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), pada tahun 2002 berdasarkan hasil kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 buah. Banyaknya pulau terluar yang dimiliki Indonesia belum diimbangi oleh pembangunan infrastruktur yang baik di daerah tersebut. Hingga sering terjadi gejolak antara pusat dan daerah yang menuntut disintegrasi. Kasus Aceh, Papua, Riau, dan Maluku menjadi contoh nyata akan lemahnya pemerataan pembangunan.

Kemajuan suatu bangsa di nilai dari pemeratan pembangunan. Hal itu terukur dengan baiknya sarana pendukung pembangunan seperti jalan yang bagus yang sanggup menjangkau berbagai daerah, kebutuhan listrik tercukupi, sarana komunikasi yang memadai, dan yang penting adalah sarana transportasi antar pulau dan daerah yang memadai. Sementara itu yang menjadi titik utama masalah di daerah pulau terluar adalah belum meratanya pembangunan sarana fisik yang mendukung akses transportasi, listrik, dan komunikasi. Hal ini mengakibatkan terhambatnya perkembangan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat di pulau itu. Selain itu berdampak pula pada mahalnya harga bahan bakar, yang akibatnya t arus barang dan jasa tidak lancar sehingga harga menjadi mahal. Selain masalah transportasi, warga Pulau pulau terluar sering mengeluhkan ketiadaan jaringan listrik dan telepon di pulau tersebut. Selama ini, hanya sedikit masyarakat yang dapat memperoleh listrik dari generator dan pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas kecil yang dimiliki oleh beberapa keluarga. Operasional generator pun sangat mahal karena mengandalkan bahan bakar minyak fosil untuk menggerakkan mesin. Berbagai kendala ini tentunya mendorong semua pihak untuk memikirkan rekayasa penciptaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan diarahkan untuk mendukung kebijakan konservasi dan diversifikasi energi yang ramah lingkungan, efisien, ekonomis, berwawasan masa depan dan sesuai potensi lokal.

Kebijakan pengembangan energi BBM di daerah pulau terluar berbasis potensi lokal, menjadi alat strategis untuk menjaga ketahanan negara dari serbuan kepentingan yang mengarah disintegrasi. Alasannya adalah karena sebagian besar pulau terluar merupakan daerah perbatasan yang masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana social dan ekonomi serta pertahanan dan keamanan yang masih sangat terbatas. Pandangan dimasa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah mengakibatkan kawasan perbatasan di beberapa daerah menjadi daerah yang kurang tersentuh oleh dinamika pembangunan khususnya bidang social dan ekonomi, sehingga masyarakat di daerah perbatasan pada umumnya miskin dan akibatnya banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di lain pihak negara tetangga seperti Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di sepanjang koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Dengan mendongkrak pengembangan energi BBM di daerah pulau terluar diharapkan membuka sekat ketertinggalan dan membuka akses pada pemerataan pembangunan sehingga meminimalisasi wacana atau gerakan disintegrasi.

Kawasan kepulauan dan pantai selama ini identik dengan tanaman kelapa, aren, enau, dan siwalan. Beberapa bahan baku tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan Biofuel. Minyak kelapa untuk biodiesel, nira kelapa, aren, enau dan siwalan untuk bioetanol. Pemanfaatan potensi lokal untuk mendukung swasembada energi lokal perlu untuk dilakukan segera. Seperti biji kesambi di Pulau Rote yang melimpah bisa diolah bijinya untuk minyak, biji karet di kalimantan dan lain-lain.

Pemanfaatan kelapa sebagai salah satu bahan baku untuk mendukung konservasi energi dan menjamin ketersediaan BBM di daerah pulau terluar dirasa tepat. Mengingat menurut data Departemen Pertanian dalam upaya revitasilasasi pohon kelapa tahun 2005 pertanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31,2% dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (pangsa 25,8%), disusul India (pangsa 16,0%), Sri Langka (pangsa 3,7%) dan Thailand (pangsa 3,1%). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi ke dua setelah Philipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai 229 juta US$ atau 11% dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 20031). Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupannya karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta ha dan melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani. Pengusahaan kelapa juga membuka tambahan kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil samping yang sangat beragam.

Pertanaman kelapa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada tahun 2003 dari total areal 3,74 juta ha, pangsa pulau Sumatera mencapai 34,5%, Jawa 23,2%, Bali, NTB dan NTT 8,0%, Kalimantan 7,2%, Sulawesi 19,6%, Maluku dan Papua 7,5% (Gambar 1). Produk utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah kopra dan minyak; di Jawa kelapa butir; Bali, NTB dan NTT kelapa butir dan minyak; Kalimantan kopra; Sulawesi minyak; Maluku dan Papua kopra. Komposisi keadaan tanaman secara nasional meliputi, tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 13,9% (0,54 juta ha), tanaman menghasilkan (TM) 74,0% (2,87 juta ha) dan tanaman tua/rusak (TT/TR) 12,1 % ( 0,47 juta ha).

Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2.700-4.500 kelapa butir yang setara 0,8-1,2 ton kopra/ha. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan menjadi 6.750 butir atau setara 1,5 ton kopra. Selain itu, potensi kayu kelapa yang dapat dihasilkan sebesar 200 juta m3. Berdasarkan potensi tersebut maka pengembangan agribisnis kelapa, khususnya industri pengolahan buah kelapa, diarahkan ke Propinsi Riau, Jambi dan Lampung di wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan JawaTimur di wilayah Jawa, Propinsi Kalimantan Barat di wilayah Kalimantan, dan Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah di wilayah Sulawesi. Sedangkan industri pengolahan kayu kelapa di NTB dan NTT di wilayah Bali, NTB dan NTT, dan di sentra produksi lainnya.

Dengan produksi buah kelapa rata-rata 15,5 milyar butir per tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut. Industri pengolahan komponen buah kelapa tersebut umumnya hanya berupa industri tradisional dengan kapasitas industri yang masih sangat kecil dibandingkan potensi yang tersedia. Besaran angka-angka di atas menunjukan bahwa potensi ketersediaan bahan baku untuk membangun industri masih sangat besar. Luas areal dan produksi kelapa per propinsi tahun 2000-2003 disajikan pada Tabel 9.

Data Asia Pasific Coconut Community (APCC) menunjukkan bahwa konsumsi kelapa segar penduduk Indonesia sekitar 36 butir/kapita/tahun atau 7,92 milyar butir (51,1%). Bila produksi buah kelapa nasional sebanyak 15,5 milyar butir/tahun, maka buah kelapa yang dapat diolah di sektor industri adalah 7,57 milyar butir (48,9%). Jumlah ini dapat memenuhi kebutuhan 29 unit industri dengan kapasitas 1 juta butir/hari. Jika 10% saja dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak yang berada di daerah pulau terluar sudah mencapai 10.000 liter biodiesel perhari dengan asumsi 10 butir kelapa untuk 1 liter minyak.

Konsep penyediaan bahan bakar Biofuel berbasis potensi lokal terutama kelapa dapat diintegrasikan dalam satu wilayah. Ini menjadi menarik terhadap pemanfaatan potensi lokal. Pemanfaatan minyak kelapa untuk biodiesel dan nira untuk alkohol untuk bahan tambah pembuatan biodiesel. Selain itu alkohol yang dihasilkan dari nira dapat dimanfaatkan lebih jauh menjadi bioetanol sebagai pengganti bahan bakar bensin. Keunggulan ini menjadi potensi yang menarik, unik, yang bisa dikembangkan di daerah penghasil kelapa. Selama ini produsen biodiesel harus mencari bahan pembantu berupa metanol/etanol. Penyediaan bahan pembantu pada pembuatan biodiesel seperti metanol di daerah pulau terluar mustahil mudah didapatkan. Bahkan kalaupun ada harganya pasti sangat mahal. Hitungan ekonomi yang tidak masuk akal. Konsep terintegrasi ini akan mengurangi ongkos produksi, karena bahan baku tersedia ditempat, tidak perlu alat angkut yang mahal. Bahkan dengan teknologi yang sederhana pembuatan biodiesel dan bioetanol dengan bahan baku kelapa sudah berhasil dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Tim Riset Pembangunan Indonesia yang bekerja sama dengan CV Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu. Penelitian ini dipimpin oleh Manager Riset dan Pengembangan REPINDO Mansur Mashuri, ST, alumni Teknik Kimia Universitad Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu dalam hal ini sebagai perusahaan yang bergerak dalam pengolahan kelapa menjadi aneka produk seperti Virgin Coconut Oil, Minyak Goreng, Kosmetik berbasis VCO, Asap Cair (Liquid Smoke), nata de coco, briket arang tempurung dan kerajinanan tangan lainnya, juga telah mengembangkan Biodiesel dari sisa minyak kelapa, yang bahan tambahnya (etanol) dibuat dari Nira kelapa. Konsep teknologi ini kami rasa sangat tepat untuk mendukung penyediaan bahan bakar minyak (biofuel) khusus pada daerah-daerah penghasil kelapa, terutama kepualauan yang banyak memiliki pohon kelapa.

Langkah ini akan menolong para nelayan, dan angkutan laut lainnya untuk memperoleh bahan bakar dari bahan lokal dan akan menjadi sebuah terobosan dalam hal penyediaan bahan bakar minyak yang murah utamanya dapat dibuat sendiri.

Proses pembuatan minyak kelapa sebagai bahan baku biodiesel dapat dibuat secara sederhana dengan proses pancingan yang tidak membutuhkan energi panas. Hal ini akan menghemat energi khususnya penggunaan kayu bakar atau minyak tanah. Kemudian untuk pembuatan nira adalah dengan fermentasi sederhana seperti pembuatan tuak yang sudah berkembang di masyarakat pesisir. Kemudian untuk pengolahan etanol sebagai bahan tambah biodiesel diperlukan alat penyulingan alkohol. Prosesnya pun bisa sederhana, hanya dengan menggunakan drum-drum minyak yang dipanaskan hingga alkoholnya menguap kemudian dipisahkan. Proses pemisahan dilakukan dengan konsep perbedaan titik didih. Kemurnian alkohol yang diperoleh sekitar 90 %.

Untuk membuat biodiesel, minyak kelapa direaksikan dengan etanol. Perbandingan yang diberikan adalah 1 : 4. jika 1 (satu) liter minyak maka ditambahkan 0,25% etanol. Reaksi bisa dijalankan dengan cara dingin ataupun panas. Jika dengan reaksi panas maka hanya dibutuhkan suhu sekitar 65-70 0C. Pembuatan biodiesel memerlukan katalis yaitu Natrium Hidroksida yang hanya sekitar 0,5-1%. Hasil reaksi yang diperoleh adalah biodiesel dan gliserol. Cara yang sangat mudah.

Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu Yogyakarta yang bekerja sama dengan Riset Pembangunan Indonesia, telah mengembangkan teknologi sederhana ini menjadi satuan-satuan alat yang dapat dipakai untuk pengolahan biodiesel dan bioetanol yang cocok dengan kawasan pantai dan kepulauan.

Meskipun dibuat dengan sederhana, hasil yang diperoleh telah memenuhi kualitas yang disyaratkan standar ASTM . seperti terlihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1. Hasil Laboratorium Uji Lab Biodiesel Kelapa




Tabel 2 Standar ASTM Biodiesel


Hal itu dibuktikan dengan uji lab yang dilakukan di Laboratorium Minyak Bumi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Bahkan sudah dipakai untuk keperluan sehari-hari pada mobil diesel kantor yang telah memakai biodiesel dari kelapa.




Penggunaan Biodiesel pada mobil Pick Up Panther




Penggunaan biodiesel pada mobil kijang diesel




Hasil Laboratorium minyak bumi Fakultas Teknik Universitas Gajdah mada




Hasil Laboratorium konversi energi fakultas Teknik Universitas Gajdah mada




Reaktor Transesterifikasi Portabel untuk skala kecil 10 liter/batch






Plant Biodiesel skala 100 liter/batch di Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu























Informasi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar